https://journal.idrisiyyah.ac.id/index.php/hikamia/issue/feedHikamia: Jurnal Pemikiran Tasawuf dan Peradaban Islam2025-09-23T12:14:32+08:00Rosid Baharmahadaly@idrisiyyah.ac.idOpen Journal Systems<p>focuses on research and reviews related to education in Sufism, Tarekat, Islamic Philosophy, Islamic Theology, Islamic Thought. Every submitted manuscript will be reviewed by editorial, if it fits the scope of the journal will be reviewed by our esteemed peer-review. This journal is published by Ma'had Aly Idrisiyyah with an online publication frequency twice a year, namely in <strong>March</strong> and <strong>September</strong>. For authors who are interested in submitting manuscripts, please <a href="https://journal.idrisiyyah.ac.id/index.php/hikamia/user/register">register</a> yourself, manuscript templates can be downloaded <a href="https://docs.google.com/document/d/1pJgk3-R1i80tocjLcsctDDsRfg76Jd6Y/edit?rtpof=true&sd=true">here</a>.</p>https://journal.idrisiyyah.ac.id/index.php/hikamia/article/view/165Tasawuf Epistemologis Gus Baha’: Ilmu sebagai Jalan Spiritual dalam Tradisi Pesantren2025-09-23T12:14:32+08:00Ayatullahayatullah@unusia.ac.idMuhammad Syahrul Hasansyaheerdconan547@gmail.com<p>Tasawuf tidak hanya berkaitan dengan laku spiritual dan kesalehan personal, tetapi juga memiliki dimensi epistemologis yang penting dalam membentuk cara pandang terhadap ilmu dan pengalaman keagamaan. Penelitian ini mengkaji pemikiran KH. Bahauddin Nursalim (Gus Baha') tentang tasawuf dari sisi epistemologis, dengan menyoroti bagaimana beliau memposisikan ilmu sebagai jalan spiritual dalam kerangka tradisi pesantren. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan studi tokoh dan analisis isi terhadap ceramah-ceramah Gus Baha’ di berbagai media digital, khususnya YouTube, serta literatur yang relevan tentang epistemologi tasawuf. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Gus Baha’ memandang ilmu bukan sekadar alat untuk memahami syariat, tetapi sebagai sarana penyucian jiwa dan pendekatan diri kepada Allah. Selain itu, Gus Baha’ juga menekankan pentingnya logika sehat dan sanad keilmuan sebagai fondasi dalam pencarian spiritual. Pandangan ini selaras dengan tradisi tasawuf klasik yang mencerminkan kesinambungan antara ilmu, iman, dan ihsan. Dengan demikian, pemikiran Gus Baha’ membuka peluang reinterpretasi terhadap peran ilmu dalam pendidikan pesantren yang tidak hanya mencetak ahli hukum, tetapi juga hamba yang arif.</p>2025-09-23T11:59:36+08:00Copyright (c) 2025 Ayatullah, Muhammad Syahrul Hasanhttps://journal.idrisiyyah.ac.id/index.php/hikamia/article/view/170Sufism Discourse On Imam Al Shatibi's Maqashid Reasoning Paradigm2025-09-23T12:14:32+08:00Asep Ahmad Arsyul Munirarsyul.munir@iaitasik.ac.idArif Tasrikin Imronariftasrikinimron87@gmail.com<p><em>Sufism as the spiritual treasure of Islam is often debated regarding its understanding within the framework of sharia. The maqasid (objectives) paradigm of rational thought by Imam Al-Shatibi, which emphasizes the purposes and wisdom behind Islamic laws, provides a valuable perspective. The purpose of this writing is to explore Sufism through the maqasid paradigm to ensure its conformity with the principles of sharia. The method used is a literature review and critical analysis of Sufi principles such as makrifat (gnosis), tazkiyat an-nafs (self-purification), and zuhd (asceticism) through the lens of maqasid. The research results show that maqasid serves as a solid foundation for Sufism to provide profound substantive meaning and prevent deviations. Maqasid also provides a framework for evaluating Sufi practices and their contextualization in modern life without sacrificing its core values. In conclusion, Al-Shatibi's maqasid paradigm ensures that Sufism is not only a profound spiritual practice but is also in line with Islamic sharia, enriching the spiritual dimension, and addressing the modern human need for authentic spirituality with a way of life in accordance with the objectives of sharia. </em></p>2025-09-23T12:03:09+08:00Copyright (c) 2025 Asep Ahmad Arsyul Munir, Arif Tasrikin Imronhttps://journal.idrisiyyah.ac.id/index.php/hikamia/article/view/189Jalan Pulang ke Fitrah: Pesan Sirrul Asrar bagi Generasi yang Lelah Mencari Diri2025-09-23T12:14:32+08:00Faris Bahrul Ulumfarisbahrululum16@gmail.comMuhammad Syahrul Hasansyaheerdconan547@gmail.com<p><strong>Abstract</strong></p> <p><em>This article examines the teachings of Sirrul Asrar by Shaykh Abdul Qadir al-Jilani as a spiritual map for modern humans experiencing existential crises, a loss of meaning, and disconnection from their primordial nature (fitrah). The study employs a qualitative-descriptive method based on library research, utilizing a thematic-sufistic and reflective-contextual approach to key sections of the text, such as the concepts of wathan al-asli (the original homeland), asfal as-safilin (the lowest state of being), the fourfold structure of knowledge (shari‘ah, tariqah, ma‘rifah, and haqiqah), and the hierarchy of the human soul (jasmani, ruwani, sultani, and qudusi). The findings reveal that Sirrul Asrar is not merely a normative Sufi text, but offers existential therapy that guides the soul toward self-purification, awareness of divine unity (tawhid), and holistic spiritual restoration. The concept of thiflul ma‘ani</em> <em>the birth of true spiritual consciousness</em> <em>represents the culmination of this inner journey toward human authenticity. These teachings are highly relevant in addressing contemporary issues such as spiritual alienation, digital self-construction, value disorientation, and existential fatigue caused by a fast-paced, consumerist culture. Thus, this classical Sufi legacy is crucial to be revived as an alternative narrative and spiritual solution for modern individuals who have lost direction and connection to their existential roots.</em></p> <p> </p> <p><strong>Keywords: </strong><em>Sirrul Asrar, existential tawhid, thiflul ma‘ani, spiritual crisis, contemporary Sufism</em></p> <p><strong>Abstrak</strong></p> <p>Artikel ini mengkaji ajaran <em>Sirrul Asr</em><em>a</em><em>r</em> karya Syekh Abdul Qadir al-Jailani sebagai peta spiritual bagi manusia modern yang mengalami krisis eksistensial, kehampaan makna, serta keterputusan dari akar fitrahnya. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif-deskriptif berbasis studi pustaka, dengan pendekatan tematik-sufistik dan reflektif-kontekstual terhadap bagian-bagian penting dalam kitab seperti konsep <em>wathan al-asli</em>, <em>asfal as-s</em><em>a</em><em>fil</em><em>i</em><em>n</em>, struktur empat cabang ilmu (<em>syariah</em>, <em>thariqah</em>, <em>marifah</em>, dan <em>haqiqah</em>), serta hirarki ruh manusia (<em>jasmani</em>, <em>ruwani</em>, <em>sultani</em>, dan <em>qudusi</em>). Hasil kajian menunjukkan bahwa <em>Sirrul Asr</em><em>a</em><em>r</em> tidak hanya merupakan teks normatif sufistik tetapi juga mengandung tawaran terapi eksistensial yang membimbing manusia menuju penyucian diri, kesadaran tauhid, dan keutuhan spiritual. Konsep <em>thiflul ma‘ani</em> sebagai lahirnya kesadaran ruhani sejati menjadi titik kulminasi dari perjalanan menuju hakikat manusia. Ajaran ini relevan dalam menjawab problematika kontemporer seperti alienasi batin, pencitraan digital, disorientasi nilai, dan kelelahan spiritual akibat budaya instan dan konsumtif. Oleh karena itu, warisan sufistik klasik ini penting untuk dihadirkan sebagai narasi alternatif sekaligus solusi ruhani bagi manusia modern yang kehilangan arah dan akar eksistensinya.</p> <p><strong>Kata Kunci: </strong><em>Sirrul Asrar</em>, krisis identitas, tauhid eksistensial, peta ruh, sufisme kontemporer</p>2025-09-23T12:06:05+08:00Copyright (c) 2025 Faris Bahrul Ulum, Muhammad Syahrul Hasanhttps://journal.idrisiyyah.ac.id/index.php/hikamia/article/view/194Bullying verbal perspektif tasawuf (studi analisis pemikiran Al-Ghazali tentang maksiat lisan dalam bidāyatul hidāyah)2025-09-23T12:14:32+08:00Muhammad Raihan Kennyraihanbreey25@gmail.comSalman Alfarisisalmanalfarisi62@gmail.comHanhan Burhanihanhanburhani6@gmail.com<p><strong>Abstract</strong></p> <p>This study explores the issue of verbal bullying, a behavior often underestimated in society. In truth, it represents a moral deviation and a manifestation of spiritual illness. Al-Ghazali asserts that harmful speech is a reflection of a corrupted heart. The aim of this research is to examine the concept of verbal bullying from Al-Ghazali’s perspective as presented in <em>Bidayatul Hidayah</em>. Employing a qualitative approach through content analysis, this study draws primarily on <em>Bidayatul Hidayah</em> as a main source, supported by relevant secondary materials. According to Imam Al-Ghazali, verbal transgressions that constitute verbal bullying include idle talk, insults, humiliation of others, backbiting, vulgar or obscene language, and lying. As a remedy for these issues, he emphasizes the importance of <em>ash-shamt</em> (silence) and <em>tazkiyah an-nafs</em> (self-purification).</p> <p><strong>Keywords:</strong> Verbal Bullying, Al-Ghazali, Verbal Sins, Bidayatul Hidayah</p> <p><strong>Abstrak</strong></p> <p>Penelitian ini membahas tentang bullying verbal yang sering dianggap remeh oleh manusia pada zaman ini. Padahal merupakan bentuk dari penyimpangan akhlak dan penyakit hati. Al-Ghazali berpendapat bahwa ucapan negatif mencerminkan kerusakan hati. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran mengenai bullying verbal menurut tasawuf Al-Ghazali, dalam kitab <em>bidāyatul hidāyah</em>. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif dengan pendekatan konten analisis. Sedangkan data yang dikumpulkan pada penelitian ini bersumber dari data primer yaitu kitab Bidayatul Hidayah serta data sekunder yang merupakan data-data pendukung untuk melengkapi dan membuat penelitian ini menjadi lebih baik. Berdasarkan hasil analisis mengenai bahaya lisan dalam penelitian ini yang mengarah kepada bullying verbal dalam kitab Bidayatul Hidayah menurut pandangan Imam Al-Ghazali adalah termasuk didalamnya ucapan tak berguna, melaknat, meremehkan, menggunjing, ucapan keji dan cabul, serta pembicaraan mengenai kebatilan. Adapun terapi untuk mengatasi hal tersebut Imam Al-Ghazali menjelaskan <em>ash-shumt</em> (diam), dan <em>tazkiyah an-nafs</em>.</p> <p>Kata Kunci: Bullying Verbal, Al-Ghazali, maksiat lisan, bidayatul Hidayah</p>2025-09-23T12:07:27+08:00Copyright (c) 2025 Muhammad Raihan Kenny, Salman Alfarisi, Hanhan Burhani