Bermursyid Kepada Mursyid Yang Sudah Wafat Menurut Para Sadat Shufiyah

  • Rizal Fauzi Ma'had Aly Idrisiyyah
Keywords: Mursyid zamannya, al-faidh, silsilah muttasilah (tersambung)

Abstract

Menghilangkan amradh qalbiyah (penyakit hati) menurut para Ulama hukumnya wajib, dan tidak dapat dilakukan tanpa bimbingan Wali Mursyid. Sehingga mayoritas Ulama Salaf dan Khalaf menghukumi wajib mencari Mursyid zamannya yang tidak terputus silsilahnya dan berada dalam bimbingannya. Permasalahan muncul ketika suatu Tarekat tidak memiliki Mursyid yang meneruskan Mursyid sebelumnya, atau tidak meyakini adanya penerus dari Mursyid yang sudah wafat.  Jenis penelitian yang digunakan adalah kepustakaan dengan pendekatan kajian teks kitab-kitab tasawuf yang menjadi rujukan dikalangan ahli-ahli Tarekat tasawuf. Menurut Syaikh Ibn ‘Arabi, bahwa bermursyid kepada yang sudah wafat dan tidak lagi mencari Mursyid penggantinya maka tidak dikategorikan shuhbah kepada Mursyid dan sulit meraih bimbingannya secara paripurna. Menurut Ahmad Musthafa al-‘Alawi, mursyid yang masih hidup, wakil dari Rasulullah dan seluruh Mursyid sebelummya yang sudah wafat sehingga bermursyid kepada mursyid yang masih hidup akan memperolah bimbingan yang paripurna. Menurut Syaikh ‘Abdul Wahhab asy-Sya’rani, kewajiban bagi murid apabila Syaikhnya wafat untuk segera bermursyid kepada yang masih hidup untuk melanjutkan dan menambah bimbingan Mursyid sebelumnya. Berkata Syaikh Ahmad Tijani kepada murid-murid yang datang setelahnya dan berguru kepadanya “ketahuilah bahwa Allah menjadikan berdasarkan ilmunya yang terdahulu bahwa al-madad itu berlaku setiap zaman beserta ahli zamannya (mursyid zamannya), barang siapa yang merasa cukup dengan ucapan-ucapan Mursyid sebelumnya dari yang sudah wafat, maka hatinya akan di cap dengan terhijab dari wushul. Murid yang berguru kepada Mursyid yang sudah wafat kondisinya ada 3 macam: 1) menolak kepada Mursyid yang mendapat istikhlaf, maka dia ingkar kepada Mursyid zamannya, dan terhalang dari bimbingan Mursyid sebelumnya, 2) ragu kepada Mursyid yang melanjukan karena diduga keras tidak mendapatkan istikhlaf, penunjukan, atau wasiat dari Mursyid sebelumnya, 3) tidak mempercayai sama sekali yang mengklaim sebagai Mursyid pelanjut, maka wajib bagi murid yang ragu dan tidak percaya, untuk mencari dan bersandar kepada Allah untuk diperjumpakan dengan Mursyid zamannya.

References

Abdullah al-Haddad. (2000). Risalah Adab Suluk al-Murid. Bbil Halabi.
Al-‘Alawi, A. M. (n.d.). Diwan al-‘Arif billah Ahmad Musthafa al-‘Alawi, dengan ta’liq ‘Ashim Ibrahim. Dar al-kutub al -Islamiyah.
Al-Futi, U. bin S. (2020). Rimah li HIzbirrahim. DKI.
Al-Ghazali, A. H. (2010). Khulashah Tashanif fi at Tasawuf, atau Ayyuhal Walad. Dar al-kutub al -Islamiyah.
Al Kurdi, A. (1991). anwir al-Qulub fi Mu’amalati ‘Allamil Ghuyub. Darul Qalam al-’Arabiy.
Asy-Sya’rani, ‘Abdul Wahhab. (n.d.). Al-Anwar al-Qudsiyah fi Ma’rifati Qawa’id ash-Shufiyah. Al haramain.
Asy-Syadziliy, A. H. (2008). Risalah al-Amin fi al-Wushul li Rabb al-‘Alamin. Darul Haqiqah.
Muhammad Dahlan, I. (1999). Sirajut Thalibin ala Minhajil ‘Abidin.
Surur, T. A. B. (1948). Syakhshiat Shufiyah. Babil Halabi.
Wafa, A. S. (2013). Miftahus Shudur li Irsyadi ar-Ruh al-Maghrur, dengan syarahnya As-Syarhul al-Maysur li Miftahis Shufur, Syuhudul Anwar. Sirnarasa.
Published
2022-03-24
Section
Articles